WahanaNews-Yogyakarta | Yogyakarta menjadi gudangnya sejarah, mulai dari sejarah era Mataram Islam hingga masa-masa Kolonial masih dapat dijumpai jejaknya.
Salah satu peninggalan Kasultanan Ngayogyakarta yang tak boleh terlewatkan untuk dikunjungi di bulan suci Ramadan kali ini adalah Masjid Batu atau Selo.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Masjid Selo adalah mahakarya dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada saat itu dirinya mendirikan masjid khusus, untuk kegiatan ibadah orang Ndalem atau Kraton.
Letak masjid itu berada di kampung Panembahan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta, atau sekitar 1,9 Kilometer dari Titik Nol Km Yogyakarta.
Bangunan itu berada di gang sempit Kampung Panembahan, Kota Yogyakarta.
Baca Juga:
Polsek Bagan Sinembah Gelar Kegiatan Launching Gugus Tugas Polri dan Ketapang.
Terdapat papan penanda bertuliskan "Masjid Selo" Panembahan Yasan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I di samping gapura gang tersebut.
Gang menuju masjid bersejarah itu tidak dapat dilalui mobil.
Jika ingin berkunjung ke masjid Selo, kendaraan harus diparkir di pinggir jalan utama kampung itu.
Lalu pengunjung dapat berjalan kaki lebih kurang 100 meter dari jalan utama perkampungan.
Masjid itu terletak di antara bangunan warga.
Kesan sempit sangat terasa saat berada di depan masjid itu.
Jelas kondisi saat ini berbeda jauh dengan 233 tahun silam, di mana masjid Selo mulai digunakan untuk aktivitas keagamaan raja kala itu.
Konon halaman masjid itu dulunya adalah kolam bertingkat yang airnya mengalir jernih setiap saat.
Air tersebut menurut bendahara takmir Masjid Selo bernama Sunarwiyadi berasal dari sungai Winongo.
"Sebelah Utara ini kira-kira 200 meter. Itu kalau di dalam petanya ini masjid panepen masjid khusus, dan yang untuk umum ada sendiri, terletak di Utara," katanya kepada wartawan, Senin (4/4/2022).
Masjid itu berdiri pada 1.709 tahun Caka atau 1.789 Masehi.
Konon dulunya jika hendak masuk ke Masjid Selo dari Kraton harus dari arah plengkung wijilan ke Selatan.
"Itu pas ketika bangunan ndalem masih ada lewatnya arah Plengkung Wijilan ke Selatan. Tetapi kemudian bangunan ndalem sudah tidak ada lagi," jelasnya.
Ketika bangunan-bangunan Kraton lambat laun mulai beralih fungsi menjadi pemukiman warga, tersisa satu bangunan masjid yang saat ini berdiri kokoh di perkampungan ini.
Akan tetapi pada saat itu masjid terbengkalai, karena tidak difungsikan oleh masyarakat.
"Kemudian sekitar tahun 1965 beberapa tokoh masyarakat melihat kok ini ada bangunan masjid gak dipakai. Kemudian mengirim surat kepada kraton yang intinya mohon izin untuk menggunakan bangunan," jelas pria yang akrab disapa Narwi ini.
"Oleh kraton mengizinkan keno nganggo nanging ora keno owah-owah (boleh digunakan tetapi tidak boleh mengubah bangunan)," ujarnya.
Mulai saat itu warga gotong royong untuk membersihkan masjid yang dulunya digunakan untuk menyimpan keranda mayat tersebut.
"Oleh masyarakat dibersihkan, kerandanya dibikinkan tempat sendiri. Awal digunakan lantainya masih model lama. Dari jerambah pakai semen terus ditutup tikar," katanya.
Gaya Arsitektur
Fasad bangunan masjid Selo menyerupai Tamansari.
Maklum, arsitek dari bangunan masjid itu sama dengan arsitek Tamansari.
Di mana kubah masjid itu mengerucut berbahan semen dan batu menyerupai bangunan di Tamansari.
Tembok di masjid itu juga tebalnya 75 sentimeter.
Model jendela yang digunakan berupa teralis terbuat dari kayu.
Tidak banyak ornamen yang digunakan oleh arsitek dalam pembangunan masjid itu.
Langit-langitnya juga berbentuk mengerucut persis seperti bangunan Tamansari.
"Bangunan ini istilahnya mirip Tamansari. Ketebalan tembok sekitar 75 sentimeter. Atap pintunya agak rendah, boleh jadi orang ketika masuk harus menunduk. Itu filosofinya," kata Narwi.
"Menunduk tadi maksudnya menghormat. Dan untuk yang depan ini aslinya bentuk U Kanan kiri kolam. Airnya dari sungai Winongo," papar Narwi.
Meski saluran untuk mengalirkan air masih ada sampai saat ini, namun sudah tidak digunakan lagi.
Pondasi masjid juga dikatakan Narwi sangat dalam masuk ke tanah.
"Gempa kemarin gak terpengaruh. Pondasinya dalam, lah kemarin orang buat sumur irigasi katanya melihat pondasi masjidnya," terang dia.
Dijelaskan, luas awal masjid itu lebih kurang 6 x 8 meter persegi.
Saat ini masjid itu dilakukan perluasan dengan menambah serambi di kanan dan kiri bangunan utama masjid.
"Dulu luas bangunan utama sekitar 6x8 meter. Ruang utama hanya mampu menampung 30 jemaah. Sekarang sudah ditambah kanan dan kiri, bisa menampung 150 jemaah," terang dia.
Katanya masjid itu dibangun untuk digunakan pangeran atau putra raja Ngayogyakarta.
Kini Masjid Selo masuk ke dalam bangunan cagar budaya. [non]