Jogja.WahanaNews.co, Yogyakarta - Puluhan orang dari kelompok masyarakat Aliansi Rakyat Melawan Kecurangan melakukan aksi unjuk rasa memprotes dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang juga dikenal sebagai Gedung Agung, pada Jumat (23/2/2024) siang.
Mayoritas peserta aksi adalah emak-emak berpakaian nuansa merah putih. Sejumlah spanduk dibawa bertuliskan 'Hasil Pemilu Curang!' serta 'Diskualifikasi Paslon 02'. Mereka lalu menggelar sebuah aksi teatrikal di depan pintu masuk Benteng Vredeburg.
Baca Juga:
Terseret Ombak Pantai Drini Yogyakarta, 3 Siswa SMP Mojokerto Tewas
Aksi teatrikal menampilkan empat orang pria yang masing-masing mengenakan topeng memerankan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi); Wali Kota Solo yang juga putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka; Hakim Konstitusi yang juga adik ipar Jokowi, Anwar Usman; dan Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari.
Keempatnya digambarkan terlibat dalam sebuah persekongkolan sebelum akhirnya masing-masing dihadiahi kartu merah. Massa aksi kemudian bergeser ke titik nol kilometer untuk membunyikan kentongan peringatan bahaya dan tanda kematian.
Koordinator Aliansi Rakyat Melawan Kecurangan, Mariana Ulfah, menyebut aksi ini diikuti peserta nonpartisan dari berbagai lapisan masyarakat yang melihat kecurangan menjelang dan sepanjang proses Pemilu atau Pilpres 2024.
Baca Juga:
Siswa Berkebutuhan Khusus di Yogyakarta Mendapatkan Perjalanan Gratis Ke Sekolah oleh Maxim Indonesia
Mereka menuding rezim saat ini memiliki niat jahat untuk melanggengkan kekuasaan lewat mekanisme yang mencederai demokrasi, yakni mengintervensi MK dengan mengakali aturan sehingga Gibran lolos sebagai peserta Pilpres 2024.
Pihaknya juga menengarai silang sengkarut hasil Pemilu merupakan indikasi dari kecurangan lainnya. KPU sebagai penyelenggara pemilu 2024, dianggap seolah tak berdaya karena banyaknya tekanan penguasa yang menginginkan pemenangan calon tertentu.
Lebih jauh, mereka juga menyoroti Sirekap sebagai sebuah sistem penghitungan suara yang juga sudah dimanipulasi, sehingga mengeluarkan angka perolehan suara yang tidak konsisten dan manipulatif.
"Kesalahan input data yang berkali-kali itu sudah bukan human error lagi, tapi sudah mengarah yang disebut kecurangan terstruktur, masif, dan sistemik," kata Ulfah.
Aksi pukul kentongan sendiri, kata Ulfah, dilakukan peserta aksi emak-emak sebagai alarm tanda bahaya sekaligus kematian demokrasi di negeri ini.
"Kentongan kan simbol keamanan rakyat, kalau zaman dulu kan kentongan itu mau ada tanda bahaya. Kalau ini tadi kan bunyi kentongannya tanda ada maling, tanda kematian, simbolik," terangnya.
Ulfah berujar aksi sengaja dihelat di depan Gedung Agung yang merepresentasikan lembaga tertinggi negara.
"Semua yang bertanggung jawab: presiden," sambungnya.
Aksi ini sendiri terpantau berjalan kondusif disertai pengamanan sejumlah anggota kepolisian dari Polresta Yogyakarta dan Polda DIY.
Kapolresta Yogyakarta Kombes Pol Aditya Surya Dharma menuturkan ada sekitar 100 personel gabungan yang disiagakan guna mengamankan aksi.
Pihaknya mengaku tidak menyiapkan antisipasi khusus terkait aksi kali ini, meski sebelumnya sempat sampai menerjunkan petugas intel saat rapat koordinasi pelaksanaan kegiatan di Kotabaru, Gondokusuman beberapa waktu lalu. Peristiwa itu viral di media sosial karena anggota tersebut kepergok peserta rapat.
"Kita antisipasi seperti biasa, prinsipnya dari kepolisian mengamankan kegiatan ini bisa berjalan lancar termasuk mengamankan masyarakat sekitarnya. Masalah kemarin yang viral sudah selesai, clear semua," kata Aditya ditemui di lokasi.
[Redaktur: Amanda Zubehor]