WahanaNews-Jogja | Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Aturan ini memang dinanti-nanti oleh investor pengembang pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Karena berisi mengenai harga listrik EBT yang akan dijual kepada PT PLN (Persero).
Baca Juga:
Kanwil Kemenag DIY Imbau Dai Jaga Kerukunan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Sebelum aturan ini ditetapkan menjadi Perpres 112/2022, CNBC Indonesia memperoleh draft usulan atas aturan listrik EBT ini.
Judul yang diperoleh CNBC Indonesia atas draft sebelumnya tentang lebih spesifik yakni tentang "Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan Oleh PT PLN (Persero)".
Berbeda dengan yang saat ini terbit yaitu tentang "Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik".
Baca Juga:
Disnakertrans Bantul Dapat Kuota Empat KK untuk Program Transmigrasi 2024
Sejatinya isi dari draft Perpres yang diterima CNBC Indonesia pada Januari - Februari 2022 tidak jauh berbeda dengan isi Perpres 112/2022 ini.
Intinya adalah terkait dengan harga listrik EBT yang dijual kepada PT PLN.
Nah, perbedaan yang mencolok adalah masuknya Pasal terkait dengan pelarangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Khususnya pembangunan PLTU batu bara yang baru.
Dikonfirmasi atas hal ini, Pejabat Kementerian ESDM belum merespon pertanyaan dari CNBC Indonesia. Sehingga belum bisa diketahui apa motif dari masuknya pasal pelarangan PLTU di aturan EBT ini.
Yang jelas, pelarangan pembangunan PLTU batu bara yang baru di Indonesia itu tertuang dalam Pasal 3 Perpres 112/2022 ini.
Disebutkan bahwa: (1) Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.
Penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
(3) Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU;
b. strategi percepatan pengakhiran masa operasional
PLTU; dan
c. keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
"(4) Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk: b. PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini; atau b. PLTU yang memenuhi persyaratan," terang ayat 4 Pasal 3 Perpres 112/2022 tersebut.
Adapun PLTU yang memenuhi persyaratan di antaranya:
1. Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 1O (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2O2l melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran Energi Terbarukan; dan
3. Beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
"(5) Dalam upaya meningkatkan proporsi Energi Terbanamkan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu: a. operasi PLTU milik sendiri; dan/atau
b. kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL, dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (suplai) dan permintaan (demand) listrik," tegas ayat 5 Pasal 3.
Adapun. ayat (6) menyebutkan: Dalam hal pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memerlukan penggantian energi listrik, dapat digantikan dengan pembangkit Energi Terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (suplai dan permintaan (demand) listrik.
Ayat (7) Pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh PT PLN (Persero) memperhatikan kriteria paling sedikit:
a. kapasitas;
b. usia pembangkit;
c. utilisasi;
d. emisi gas rumah kaca PLTU;
e. nilai tambah ekonomi;
f. ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri
dan luar negeri; dan
g. ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan
luar negeri.
"Pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan termasuk blended finance yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber-sumber lainnya yang sah yang ditujukan untuk mempercepat transisi energi," terang ayat 9.
"Dukungan fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (9) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara," tandas ayat 10.[zbr]