Jogja.WahanaNews.co, Yogyakarta - Kelompok BEM UI bergabung dengan kelompok BEM UGM dan lainnya dalam Orasi dan Pernyataan Sikap Pemuda Yogyakarta - Mimbar Kerakyatan: Tahta Untuk Rakyat di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Kota Yogyakarta, Rabu (29/11/23) petang.
Dalam aksi tersebut, Ketua BEM UI Melki Sedek Huang meminta tiga pasangan calon (paslon) peserta Pilpres 2024 berhenti merepresentasikan diri mereka masing-masing sebagai perwakilan anak muda.
Baca Juga:
Saat Kampaye Paslon Pilkada Talaud Libatkan Perangkat Desa Kini Jadi Tersangka
"Setoplah gimik-gimik politik dengan menggunakan baju tertentu yang merepresentasikan generasi muda, setoplah gimik-gimik politik dengan gestur-gestur tertentu yang mengatasnamakan generasi muda. Setoplah berpura-pura muda dengan main media sosial," kata Melki di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Pasalnya, Melki menilai apa yang ditunjukkan para capres-cawapres lewat gagasan atau visi misi masing-masing sama sekali belum mewakili aspirasi anak muda.
"Enggak ada yang betul-betul muda. Jualan anak muda doang," sindirnya.
Baca Juga:
Debat Publik Paslon Bupati Gorontalo Utara Berjalan Aman dan Lancar
Menurutnya, dari lembaran visi misi para paslon yang tebalnya bukan main itu, cuma sedikit sekali gagasan yang mewakili suara anak muda. Kata kunci seperti 'muda', 'pelajar', 'mahasiswa' hingga 'beasiswa' tak banyak ditemukan.
"Kita sudah mencoba untuk mencari, bahkan kurang dari seperempat kata-kata yang mengidentifikasikan generasi muda itu hadir di visi-misi mereka yang tebalnya luar biasa banyak itu," ujar Melki.
Oleh karena itu, Melki dan kawan-kawan masih melihat para paslon Pilpres 2024 masih melakukan cara klasik mendekati pemilih dengan satu tujuan, meningkatkan elektabilitas masing-masing.
"Jangan berpura-pura muda, keluarkanlah gagasan-gagasan muda," pesan Melki.
Senada, Ketua BEM KM Universitas Gadjah Mada (UGM), Gielbran Muhammad Noor juga meminta tiga paslon untuk menyudahi gimik atau klaim dekat dengan anak muda.
"Kami takut klaim-klaim bahwa 'kita mewakili anak muda' itu hanya sebatas klaim dan tidak menjadikan pemuda sebagai subjek, tapi justru sebagai objek. Tujuannya jelas, hanya untuk mencari suara, 50 persen lebih suara anak muda. Sedangkan jelas mereka melihat [pemilih muda] ini sebagai hal yang seksi," kata Gielbran.
Dia menilai lucu ketika para politisi peserta Pemilu 2024 memajang spanduk atau baliho bergambar foto masing-masing berpenampilan layaknya anak muda zaman sekarang.
Pun demikian, dia menyindir sebuah baliho besar menampilkan gambar tokoh animasi Jepang, Naruto yang berpose jari tangan angka dua, tapi tak ada visi misi pemilu di dalamnya.
"Itu kan wujud bahwa, apakah 'sekosong' itu politik kita? Enggak ada visi gagasan apapun di baliho itu. Gimik oke, tapi jangan lupa pada substansi. Jangan cuma fokus pada gimik, kita anak muda jengah dan jijik dengan ini," sindirnya.
Selain Melki dan Gielbran, aksi itu juga diikuti sejumlah unsur organisasi mahasiswa dari berbagai kampus di Jogja dan sekitarnya seperti BEM UMY, LEM UII, Sema Paramadina, dan lainnya.
Puluhan peserta aksi yang hadir kompak mengenakan pakaian hitam sambil membawa jagung sebagai simbol berkabung atas matinya demokrasi Indonesia di tengah usia reformasi yang masih seumur jagung.
Di tengah usia reformasi yang masih seumur jagung pula, massa aksi menyatakan telah menjadi saksi pengkhianatan terhadap rakyat yang dipertontonkan secara terang-terangan melalui serangkaian masalah kebangsaan seperti politik dinasti oleh oligarki kekuasaan.
"Melalui putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Batas Minimal Usia Cawapres pun membuka peluang bagi Anak Presiden untuk naik menjadi Cawapres. Dan kemudian hal ini kami nilai sebagai bentuk pengangkangan Konstitusi dan simbol utama daripada merajalelanya praktik Politik Dinasti di Indonesia," demikian bunyi orasi dan pernyataan sikap mereka.
Mereka juga menyinggung kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan yang menjerat Haris Azhar serta Fatia Maulidiyanti dan menyebutnya sebagai sebuah bentuk pemberangusan demokrasi.
Massa juga menyuarakan betapa hipokritnya penegakan hukum, kapitalisasi pendidikan, perbudakan modern, hingga perampasan hak tanah dan eksploitasi sumber daya alam yang masif.
Para peserta aksi beranggapan, sudah saatnya tahta dikembalikan pada rakyat untuk mencapai kesejahteraannya yang paripurna.
[Redaktur: Amanda Zubehor]