WahanaNews-Jogja | Batik bukan hanya mempercantik apa yang kita pakai. Di Yogyakarta, penggunaan batik memperlihatkan seberapa tinggi kedudukan hingga usianya.
Menurut Carik Kawedanan Radya Kartiyasa Keraton Jogja Nyi R Ry Noorsundari, penggunaan batik di Keraton Jogja disesuaikan dengan status sosial, acara, usia dan kedudukan seseorang. Seiring bertambahnya usia maka tata cara penggunaan kain batik itu pun selalu disesuaikan.
Baca Juga:
Perajin Batik Kediri Harap Pemerintah Fasilitasi Penjualan dan Tenaga Kerja
"Batik itu menunjukkan status sosial di karton sendiri ada beberapa cara dalam penggunaan batik tergantung usia dan kedudukannya. Contohnya begini, untuk batik 0-5 tahun berbeda dengan yang 5-12 tahun, berbeda lagi dengan yang sudah dewasa" ucap di Keraton Jogja Kamis, (1/12/2022).
Noorsundari juga mencontohkan, saat ini banyak anak yang berdandan menggunakan batik serta bersanggul. Padahal, menurutnya, penggunaan sanggul sendiri tidak boleh digunakan untuk anak-anak karena sanggul hanya boleh digunakan ketika sudah gadis atau sudah dewasa.
Di samping itu adanya penggunaan bunga di dalam sanggul menyiratkan status pernikahan seorang.
Baca Juga:
Luncurkan Buku Batik Pakualaman, GKBRAA Paku Alam: Budaya Itu Artinya Menjaga Hati
"Ketika akil baligh baru boleh disanggul kemudian dilihat dari sanggulnya, kalau belum ada bunga berarti belum menikah. Hanya yang sudah menikah yang menggunakan bunga," kata Noorsundari.
Mengutip dari kratonjogja beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan.
Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.[zbr]