WahanaNews-Jogja | Pemerintah resmi melakukan penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) untuk layanan tes PCR menjadi Rp 275.000 di Jawa dan Bali serta Rp 300.000 di luar wilayah tersebut.
HET tersebut mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan biaya layanan tes yang sempat menyentuh jutaan pada awal pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Randy Teguh, menjelaskan, perkembangan harga PCR tidak lepas dari kondisi ketersediaan alat untuk pengujian virus dan kebutuhan masyarakat.
Pada awal pandemi, produsen reagen virus Sars-Cov-2 cenderung terbatas, sedangkan permintaan di berbagai negara meningkat.
“Ini penyakit baru dan teknologi yang dipakai baru berkembang saat pandemi terjadi. Reagen untuk virus Sars-Cov-2 berbeda dan pada awal pandemi produksi sedikit sementara banyak negara yang berebut memperolehnya,” kata Randy, Kamis (28/10/2021).
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Ketika pemerintah mulai menetapkan harga batas atas PCR mandiri di level Rp 900.000 pada Agustus 2020, Randy mengatakan harga reagen yang ada di e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) berkisar Rp 400.000 sampai Rp 500.000.
“Saat itu hanya ada 5 sampai 10 merek reagent PCR, harga masih cukup tinggi,” tambahnya.
Saat harga batas atas kembali disesuaikan menjadi Rp 450.000 sampai Rp 550.000, Randy mengatakan harga reagen di LKPP telah menyentuh sekitar Rp 200.000 dengan merek yang beredar mencapai 52 jenis.
“Kami melihat pergerakan harga PCR akan terkoreksi sesuai dinamika pasar, makin banyak kebutuhan dan produksi maka harga akan terkoreksi,” kata Randy.
Dia justru menduga penetapan HET pada layanan tes PCR membatasi dinamika harga.
Dia menengarai penyedia layanan tes menetapkan harga di batas tertinggi ketika harga sejumlah struktur sejatinya telah turun.
“Kami tengarai yang jadi masalah karena ada pembatasan harga. Saat harga dibatasi Rp 900.000 pada 2020, mungkin sebenarnya saat Januari atau Februari 2021 sudah ada penyesuaian harga reagen. Mungkin karena dibatasi, banyak yang menentukan biaya layanan mengikuti harga tertinggi. Mekanisme pasar tidak terjadi,” katanya.
Jika melihat dinamika harga impor, nilai impor reagen untuk analisis PCR dengan kode HS 38220090 pada April 2020 mencapai US$ 30,78 juta.
Dengan volume impor pada bulan tersebut sebesar 534.730 kilogram (kg), maka rata-rata harga setiap kg reagen adalah US$ 57,56 atau sekitar Rp 817.000 per kg (kurs Rp14.200).
Namun, ketika nilai impor reagen pada April 2021 mencapai US$ 30,93 juta dan volume 335.706 kg, harga rata-rata per kg justru menyentuh US$ 92,13 atau sekitar Rp 1,3 juta per kg.
Randy mengatakan, terdapat beragam jenis reagen untuk analisis virus Covid-19 seiring dengan perkembangan teknologi.
Reagen teknologi lama, harga cenderung lebih murah dibandingkan dengan teknologi termutakhir.
Salah satu pembeda dari alat PCR ini bisa mencakup durasi analisis sampai kapasitas uji.
"Untuk pemain yang memakai alat termutakhir, penetapan harga batas atas bisa membuat mereka tersingkir karena harga sekarang tidak masuk dengan modal yang mereka keluarkan," kata dia. [non]