Konteks Permendikbud dan Kesalahan Persepsi Legalisasi Zina
Nizar menjelaskan Permendikbud ini harus dipahami secara utuh tanpa dilepaskan dari konteks.
Aturan ini, menurutnya, memberi ruang dan payung bagi para korban kekerasan seksual agar berani berbicara serta dapat mengakomodir hak-hak korban.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Di satu sisi, Permendikbud ini juga menjadi semacam benteng yang akan menutup ruang gerak para pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Nizar mengakui, ada beberapa frasa yang diperdebatkan sejumlah pihak, utamanya Pasal 5 ayat (2), yakni "tanpa persetujuan korban" yang menurutnya merupakan kesalahan persepsi saja.
Menurut Nizar, pasal tersebut tidak berarti "melegalkan zina di lingkungan kampus", tetapi justru melindungi perempuan dari segala macam bentuk kekerasan seksual yang dialaminya.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
“Kekerasan seksual tidak hanya fisik, tetapi nonfisik (verbal), seperti gurauan atau panggilan yang merendahkan perempuan. Nah konteks ini, di Permendikbud ini adalah konteks untuk pencegahan dan penindakan terhadap pelecehan seksual,” tambahnya.
Jadi, kata dia, tidak ada dalam Permendikbud itu kata-kata yang melegalkan zina.
“Tidak ada sama sekali yang mengatakan melegalkan zina. Itu salah besar," kata dia. [non]