Kekhawatiran Presiden Republik Indonesia Joko atas permasalahan beban subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang telah mencapai Rp502,4 Triliun lebih patut ditindaklanjuti dengan kebijakan yang adil dan memadai.
Terkait kenaikan harga batubara yang memunculkan "lemahnya" posisi BUMN PLN terhadap pasokan bagi pembangkit tenaga listrik, yang selama ini berkontrak dengan perusahaan batubara.
Baca Juga:
Optimalkan BPDPKS, Petani Kelapa Sawit Raih Keuntungan dari Harga TBS
Maka, dalam rangka memenuhi Kewajiban Pasar Domestik/DMO yang dipatok sejumlah US$70 per ton perlu diwadahi dengan ketentuan yang adil dan wajar atas perusahaan tambang batubara yang tidak berkontrak dengan PT. PLN (Persero).
Perusahaan yang tidak berkontrak dengan PLN tentu akan memilih pasar ekspor untuk menjual batubara karena selisih harga pasar internasional yang memberikan keuntungan besar.
Apabila, harga komoditas batubara internasional tidak berubah dari kisaran US$200-300 per ton, maka potensi krisis batubara yang akan dialami oleh PLN akan semakin terbuka.
Baca Juga:
Peran Strategis BPDPKS: Pendorong Harga TBS dengan Program Berkelanjutan
Tentu saja, perusahaan tambang batubara yang memiliki komitmen memasok kepada PLN akan kehilangan keuntungan (capital loss) atas kebijakan izin ekspor yang diberikan kepada perusahaan yang tidak memasok ke PLN.
Hal ini tentu akan menimbulkan kejahatan moral (moral hazard) atas ketidakadilan perlakuan terkait selisih harga DMO dan keuntungan harga ekspor yang diperoleh.
Supaya tidak terjadi upaya ekspor besar-besaran disebabkan selisih (spread) harga yang sangat besar ini, maka untuk perusahaan tambang batubara perlu diberikan kewajiban khusus terkait keuntungan selisih harga tersebut.